blog-image

Waktu Sahur Santri Masih Andalkan Nasi Liwet

Menjamurnya pondok pesantren (Ponpes) di kawasan perkotaan belakangan sedikit mengubur daya tarik aktivitas santri. Yakni mempertahankan kebiasaan liwetan setiap kali makan. Tapi selama Ramadan ini budaya tersebut masih dimanfaatkan oleh santri Hidayatul Mubtadien Kedungkwali Gang 7 Kelurahan Miji Kecamatan Prajurit Kulon.

MOCH. CHARIRIS, Mojokerto

---

MEMASUKI kawasan pondok pesantren (Ponpes) Hidayatul Mubtadien Kedungkwali Gang 7, Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon memang berbeda dibanding ponpes lainnya. Selain harus melewati gang sempit, ponpes asuhan Agus Chamid Salim itu berada di belakang perumahan penduduk. Maklum, selama ini di lingkungan Kedungkwali untuk mendapatkan sebidang tanah dirasa cukup mahal.

Setelah berhasil melewati gang sempit diantara rumah penduduk, 50 meter kemudian gerbang masuk pesantren yang dulunya dikenal gubug itu tampak jelas.

Pintu masuk berukuran dua meter disebelahnya terdapat papan nama bertuliskan pondok pesantren Hidayatul Mubtadien menambah keyakinan sipapun yang masuk kedalam pesantren. ''Monggo (mari, red) silakan masuk," sapa Agus Chamid Salim kepada Darmo siang kemarin.

Keberadaan Gus Chamid sapaan Agus Chamid Salim selama ini memang dikenal dekat dengan kalangan santri. Tidak hanya kedekatan pengasuh dan santri namun lebih dari itu. Siapapun yang mengasuh ilmu dianggap sudah menjadi bagian keluarga. ''Kebiasaan di pesantren ya seperti ini. Kumpul bareng sama santri, bercanda, diskusi kecil-kecilan sampai ngomong negara,'' ujarnya seraya tertawa.

Tidak banyak memang kalangan santri yang menimba ilmu di Ponpes Hidayatul Mubtadien itu. Setidaknya terdapat 15-20 santri yang masih aktif. Itupun sebagian besar berasal dari lingkungan Kedungkwali dan Kelurahan Miji sendiri. ''Siapa pun monggo jika ingin belajar di sini. Tapi pesantren di sini apa adanya. Tidak seperti pesantren besar yang fasilitas santri semua ada," jelas Gus Chamid sambil bercanda kecil. Memang melihaat luas lahan pesantren itu, tidak lebih dari 20 x 25 meter.

Di bagian tengah terdapat musala yang biasa dimanfaatkan santri belajar. Sedangkan, kanan- kiri bangunan itu dilengkapi kamar santri, kamar mandi dan satu ruang kantor. Namun keikhlasan, kesabaran dan kebersamaan yang selalu tertanam pada jiwa santri, bangunan demikian itu tak lantas menyurutkan mereka untuk terus belajar. Baik ilmu agama maupun ilmu formal. ''Di sini ada pula santri dari kalangan tidak mampu dan yatim. Namun, santri-santri punya niat belajar sungguh-sungguh,'' papar bapak satu anak ini.

Hari-hari selama Ramadan ini memang terasa beda di tengah kalangan santri. Disamping kegiatan mengaji dan belajar lebih padat, kebersamaan antar santri semakin meningkat. Meski tidak berbekal layaknya santri pesantren besar, namun mereka tak pernah mengeluh. Meskipun harus makan menu sahur dan buka puasa seadanya. ''Untuk bekal sahur selama ini santri selalu mengandalkan nasi liwet hasil masakan sendiri," ungkap Lurah Ponpes Hidayatul Mubtadien, Machfud Sidiq.

Dia menuturkan, bagi santri nasi liwet tidak saja menciptakan kebersaman di dalam pesantren, tetapi mempertahankan adat istiadat kalangan santri sebelumnya. ''Dulu untuk makan alumnus selalu mengandalkan nasi liwet. Apalagi bulan Ramadan seperti ini. Makanya kadang kami sesame santri urunan beli kebutuhan liwet seadanya," paparnya.

Meski harus memasak dan mencari perbekalan sendiri, tetapi bagi santri hal itu tidak menganggu kegiatan yang diajarkan oleh pengasuh dan kalangan ustadz. Kegiatan demi kegiatan setelah salat lima waktu tetap diikuti. Semisal ngaji kitab kuning bakda terawih, setoran hafal Alquran bakda subuh, ngaji kitab kuning setelah salat duhur dan ashar. ''Untuk menu berbuka insya Allah selalu ada. Tetapi bagi kami mempertahankan kebiasaan pesantren dan santri terdahulu dengan memasak sendiri paling tidak melatih kemandirian," tandas Machfud Sidiq. (yr)

Sumber : Radar Mojokerto