blog-image

Tak Digaji, Terpaksa Ngamen Penuhi Kebutuhan Keluarga

Lingkungan Balongcangkring (BC) Kelurahan Mentikan selama ini identik dengan lokalisasi. Tapi bukan berarti tidak ada akvitas peribadatan dan belajar ilmu agama. Untuk membantu anak-anak warga, Eko Misdianto, seorang pengamen rela mengamalkan ilmunya, meski tak terima gaji.

MOCH. CHARIRIS, Mojokerto

---

TIDAK lama setelah suara azan salat ashar berkumandang, puluhan anak-anak satu per satu memadati Masjid Majapahit. Mengenakan busana muslim dan menenteng tas berisi buku dan kitab, mereka lantas memenuhi teras masjid yang berada di Lingkungan Balongcangkring, Kelurahan Mentikan, Kecamatan Prajurit Kulon.

Bukan untuk menghadiri kegiatan pengajian umum atau rutinan, anak-anak yang baru berusia antara 4-10 tahun sore itu rupanya sedang menunggu Eko Misdianto sang ustad yang biasa mengajar cara membaca Alquran yang benar.

Ada yang sengaja bermain kejar-kejaran, terlibat pembicaraan kecil hingga sengaja menulisi papan. Tidak lama kemudian, seorang pria berbadan kurus, berkulit hitam lengkap mengenakan peci dan sarung berjalan menuju masjid. ''Assalamu'allaikum...,'' sapanya kepada anak-anak yang sudah menunggu. ''Waalaikum salam...,'' sambut anak-anak.

Dalam forum Taman Pendidikan Alquran (TPQ) itu, setidaknya 36 anak-anak mengikuti belajar membaca Alquran bersama. Meski belum sampai pada kitab suci Alquran tetapi melalui methode tartila, Eko rupanya berhasil membimbing dan membina hingga mereka dapat membaca. ''Tingkatanya masih sekelas qiroati atau iqra. Tapi alhamdulillah sekarang mereka banyak perkembangan," tutur pria asal Desa Dandang Gendis, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan.

Layaknya ustad kebanyakan, sebelum memasuki materi, pria berusia 26 tahun itu mengajak anak-anak berdoa sebelum membaca Alquran. Bacaan doa yang disampaikan dengan dilagukan tertentu rupanya sudah melekat di ingatan anak-anak. Terbukti, kali pertama Eko membuka anak bimbingannya langsung merespons. ''Semua yang mengaji di sini ya putra-putri warga. Tapi saya melihat mereka cukup semangat ingin tahu cara membaca Alquran yang benar," kata bapak satu anak ini.

Memang, mendengar logat cara berbicara, suami dari Yunita Sari ini bukanlah asli warga Kota Mojokerto. Melainkan pendatang yang kini tempat tinggalnya menetap di Lingkungan Yayasan Majapahit Jalan Prapanca Kelurahan Mentikan. ''Saya menetap di sini (BC, Red) sejak akhir 2004," terangnya.

Eko menceritakan, menjadi seorang guru TPQ bukanlah tujuan dia dari sejak kecil. Sebab keputusan dia untuk datang di Lingkungan Balongcangkring semata-mata sekadar mencari pekerjaan. ''Tapi bukan pekerjaan yang saya dapat. Disini malah dapat jodoh. Ya mungkin sudah takdir," bebernya.

Namun, sebelum resmi menikah dengan Yunita Sari empat tahun lalu, Eko rupanya punya pekerjaan sebagai seorang pengamen. Berbekal suara yang lumayan, kesehariannya dia berkeliling keluar masuk perkampungan untuk sekedar mendapatkan uang recehan sebagai penghasilan utama memenuhi kebutuhan hidup.

''Sehari kadang bisa kumpulkan uang antara Rp 25 ribu-Rp 30 ribu. Tapi itu saya syukuri karena sudah bisa memenuhi kebutuhan keluarga," ujar Eko yang pernah mengikuti audisi Indonesian Idol di Surabaya pada akhir Desember 2009 lalu.

Tetapi, seiring banyaknya anak-anak setempat yang mengidamkan ilmu agama dan Alquran oleh Pengurus Yayasan Eko dipercaya menyalurkan ilmu dan pengalaman agama yang didapat dari desa kelahiran. Sebab, mesti belakangan dia kerap menjadi muadzin dan bilal Jumat, tetapi masyarakat setempat memandang Eko cukup mampu membaca Alquran.

Maka tidak heran, meski sudah cukup dekat dengan anak-anak, tapi perjuangan dia menjadi seorang guru baru berjalan dua bulan terakhir. ''Sebenarnya dulu ada ustad di sini, tapi orangnya sudah tidak di sini lagi. Makanya, anak-anak tidak ada yang membimbing," tambahnya.

Kendati demikian selama menyalurkan ilmunya, dia bukan tanpa kendala. Tingkat kecerdasan yang berbeda terpaksa membuat dia harus mengutamakan kesabaran dan ketelatenan. Terutama menghadapi anak-anak yang sulit memahami tanda baca dan cara membaca yang benar.

''Sabar yang paling utama. Tapi untuk mengasah kemampuan, mereka saya pisah-pisahkan. Mana yang cepat memahami dan mana yang lambat,'' paparnya. ''Bagi yang lambat ya harus disikapi sendiri," tambahnya.

Yang membedakan dia dan ustad yang lain, meski harus setiap hari mengajar dari pukul 15.30 hingga 17.00 dia tidak pernah mendapat honor atau gaji. Sebab, selama ini memang tidak ada lembaga atau dermawan yang menopang bisaroh (honor) dan operasional kebutuhan mengaji. ''Tapi saya ikhlas menjalani ini. Yang penting anak-anak di sini tetap bisa mengaji. Soal kebutuhan keluarga saya pasrah saja sama Allah," tandasnya. (yr)
Sumber : Radar mojokerto