blog-image

Dam Tak Berfungsi, Butuh Komitmen Antardaerah

Masalah banjir dan genangan air yang belakangan terus terjadi di wilayah Kota Mojokerto kala musim penghujan datang hingga kini memang belum dapat teratasi. Baik di jalan-jalan protokol maupun lingkungan perumahan penduduk. Disamping buruknya drainase, kesadaran penduduk sadar kebersihan tampaknya masih minim.

---

BANYAK yang bilang jika Kota Mojokerto dengan luas wilayah sekitar 16,47 kilometer persegi ini masih dipersoalkan dengan kalsiknya, banjir dan genangan. Maklum, kota dengan dua kecamatan Magersari dan Prajurit Kulon dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa bak sebuah tungku kelapa. Meski kecil namun tak luput dari sasaran air dari wilayah lain. Khususnya dari Kabupaten Mojokerto.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) menyebutkan selama ini belasan sungai kecil yang menjadi penunjang drainasi semua datang dari sungai kabupaten. Tak heran, menyusul 100 persen dam yang ada semua berada di wilayah kabupaten dengan 18 kecamatan itu. Diantara sungai yang berpengaruh adalah Kali Sadar, Sinoman (Brangkal) dan Sungai Brantas.

Meski terbagi dari tiga titik, selatan, barat dan utara melainkan keberadaan sungai tersebut, tidak dapat dipungkuri menjadi salah satu penyebab utama keberadaan banjir dan genangan air.

Sedangkan faktor lain, minimnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan dan datangnya air hujan. Sebab, bukan di musim penghujan saja, pemandangan mayasarakat yang membuang sampah di sungai dan saluran air itu hampir terjadi setiap hari.

Kepala Badan Balitbang Kota Mojokerto J. Ennang Soetarto mengatakan, terjadinya banjir dan genangan air di kota selama puluhan tahun itu bukan saja akibat persoalan saluran air dan drainasi yang tak berfungsi dengan baik. Melainkan, turunnya air hujan selalu sampai saat ini tak kunjung ditemui solusi. Tidak heran jika beberapa jalan protokol, lingkungan dan kelurahan menjadi sasaran genang air dan banjir. Semisal Jalan Majapahit, Alun-alun, Jaksa Agung Soeprapto (Joko Sambang) dan kawasan Jalan Empunala. Sedangkan Kelurahan menjadi area langganan adalah Mentikan, Miji, Magersari, Kauman, Purwotengah, Sentanan, Meri, Gunung Gedangan, dan Kelurahan Wates. ''Penyebab genangan air dan banjir selama ini banyak faktor. Dari drainase, air hujan hingga minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan,'' ujarnya.

Selama musim penghujan misalnya, genangan air bahkan menyebabkan banjir memang tidak terjadi dalam waktu lama. Berkisar antara 1 hingga 2 jam, setelah itu surut dan normal kembali.

Tapi setidaknya, atas hal itu ketenangan masyarakat sedikit terusik. Sebab bukan saja mengganggu fasilitas kelancaran jalan protokol atau lingkungan, tetapi ketinggian air yang bahkan mencapai 30 sentimeter hingga 50 sentimeter selalu menggenangi perumahan warga.

Sebut saja di Kelurahan Miji walau saluran air sudah terbentuk, baik yang mengarah di Kali Sinoman I (mengalir ke wilayah Kranggan) maupun sepanjang Jalan Brawijaya, tetapi itu dianggap tak mampu menampung genangan dan banjir yang terjadi. ''Yang jelas air tidak bisa terserap dalam waktu singkat. Sebab, begitu hujan turun dan membasahi semua wilayah kota maka yang terjadi debit air di semua saluran dan sungai meningkat," terang alumnus Magister Hukum Untag Surabaya tahun 2001 itu.

Ennang mengaku dari hasil penelitian Balitbang Kota bersama lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat STT Raden Wijaya Mojokerto tahun 2008 menemui persoalan baru. Utamanya berada di dam sebelah timur wilayah kota.

Dimana, dam-dam yang ada sejauh ini tidak dapat berfungsi sebagaimana semestinya. Seperti dam di Desa Lengkong dan sisi selatan PT Mertex Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto. Kendati mulanya berfungsi sebagai saluran pengairan sawah yang pasokan airnya dari kali brantas di sisi utara, tetapi kondisinya kini memprihatinkan.

''Bukan saja faktor pendangkalan sungai, tapi tidak ada penjaga (operator, Red) pintu di situ. Jadinya, jika debit air meningkat, air yang semestinya terbuang ke sisi timur tidak berjalan normal," imbuh pria berkacamata ini. ''Bahkan karena tidak ada yang membuka dam, air dari kota bisa kembali. Ya ini bisa jadi salah satu penyebab utama," tukasnya.

Selain dam tak berpenjaga, penyebab tambahan lantaran dam Dusun Kangkungan Desa Lengkong konstruksinya menggunakan ambang atau anggelan, sehingga menghambat aliran. ''Sekarang sungai sebagian besar malah beralih fungsi jadi area persawahan," imbuhnya.

Sebaliknya di sisi selatan kota akibat luapan air saat terjadi di musim hujan, justru berpengaruh pada anak-anak sungai yang ada. Sehingga jika itu terjadi maka drainase, lanjut Ennang di Kelurahan Meri, Gununganyar dan sekitarnya terjadi inundasi (tenggelam rutin). ''Kalau di bagian barat kota seperti Kelurahan Blooto setahu kami ya karena ulah tangan manusia. Jadinya sampah-sampah yang menumpuk menghambat aliran air dan perlu pembersihan," tukas bapak 4 anak ini.

Karenanya untuk melepas jeratan genangan dan banjir di Kota Balitbang menganggap perlu adanya pembuangan terpadu yang melibatkan lintas daerah. Baik berupa rehabilitasi bangunan-bangunan air atau normalisasi dan pencegahan sampah ke dalam saluran. ''Tapi yang lebih penting adalah menempatkan tenaga operasional di dam-dam sungai. Bila itu tidak dilakukan maka masalah yang ada tetap saja terjadi," tegasnya.

Untuk mewujudkan itu, Balitbang sepakat jika pemkot segera melakukan koordinasi lintas daerah. Khususnya melibatkan Kabupaten Mojokerto dan Sidoarjo. ''Tidak harus dalam bentuk bangunan sudetan baru atau penampungan air. Tapi fungsikan semua yang berkaitan dengan Dam dan drainase dengan cara melakukan normalisasi dan rehabilitasi,'' tandasnya. (ris/nk)

Sumber : Radar mojokerto