blog-image

Kedepankan Kemanusiaan, Rutin Periksa Diri
Keberadaan Voluntary Conseling Testing (VCT) Kota Mojokerto sudah banyak yang mendengar. Di balik itu, posisi Eko Harianto menjadi sangat penting. Karena dia yang setiap saat harus berinteraksi dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
ABI MUKHLISIN, Mojokerto
----
HARI beranjak sore. Matahari mulai mengendorkan serangannya ke kulit. Dari luar, tak terlihat ada aktivitas di Kantor Kelurahan Magersari Kota Mojokerto. Hanya terlihat sepeda motor dan becak yang terparkir di halaman.

Masuk ke dalam salah satu ruangan yang ada, baru terlihat ada dua orang duduk di balik meja masing-masing. Eko Harianto, salah seorang diantaranya. Mengenakan jaket warna cokelat susu, Eko panggilan akrabnya, sedang bersantai. Senyum hangat menyambut tamu seketika itu muncul di bibirnya.

Eko memang tak hanya menjadi manajer kasus (MK) di VCT Kota Mojokerto. Namun, aktivitas hariannya juga disibukkan di ruangan itu. Bukan berarti dia pegawai kelurahan. Melainkan menjadi petugas koperasi. Sehingga, tak heran kalau saat itu dia bersama rekan sejawatnya berada di salah satu ruangan di kantor kelurahan itu. ''Menjadi MK mengharuskan saya bisa akrab dengan ODHA,'' ungkap pria kelahiran 16 Maret 1970 itu.

Selain pendampingan, posisinya sekarang juga dibebani tugas mengawasi ODHA. Banyak hal yang diawasi. Diantaranya, pola makan, pola minum obat hingga pola seks. Belum cukup itu, Eko bahkan harus memberikan bimbingan moral. ''Dari jumlah ODHA yang ada, saya mengetahui rumahnya. Sebab, saya memang dituntut untuk itu,'' katanya.

Memang, pertemuannya dengan ODHA bisa dilakukan dua cara. Di kantor VCT RSUD dan di rumah. Kalau mereka (ODHA) yang merasa enggan ke kantor, tak jarang memintanya datang ke rumah. ''Kalau sudah ada permintaan itu, saya selalu datang,'' katanya.

Tak terbatas waktu. Tak sekali dua kali, Eko harus menuruti keinginan ODHA menemani ngobrol hingga larut malam. Bisanya, yang bersangkutan tidak bisa tidur. ''Pukul 02.00 saya dipanggil, ya harus datang,'' ungkapnya yang kini tinggal di Magersari Gang VIII.

Menyadari keterbatasan tenaganya, dia dituntut pandai menyiasati kebutuhan pengawas minum obat (PMO). Dia mengangkat dari keluarga atau teman terdekat. Dengan jumlah 115 ODHA di Kota dan Kabupaten Mojokerto, tak cukup untuk setiap hari mendatangi satu per satu rumah mereka. ''Saya harus pandai mengatur jadwal. Tenaga saya tidak kuat,'' katanya.

Mendampingi ODHA dia selalu mengedepankan kemanusiaan. Harus rela menerima apapun. Tak sedikit yang mencurahkan perasaan hati (curhat) kepadanya. Karena sudah menjalaninya sejak tahun 2006, interaksi itu sudah menjadi panggilan. ''Ya tetap ada perhatian (uang transpor, Red). Tapi yang pasti kemanusiaan,'' katanya.

ODHA yang menangis tak sekadar menangis. Banyak yang merangkul untuk meluapkan keluh kesahnya. Para ODHA itu seolah tenang dengan bisa ngobrol dan curhat kepadanya. ''Saya setiap dua bulan atau tiga bulan sekali memeriksa diri,'' ujar Eko yang juga lama bergelut sebagai aktivis LSM Peka yang bergerak di bidang kesehatan.

Dalam melakukan pendampingan, Eko juga dituntut telaten dan bersabar. Maklum, apa yang dilakukan itu dalam rangka penyadaran. Termasuk, agar keluarga, lingkungan atau komunitas. ''Bagaimana lingkungan itu bisa menerima ODHA. Sehingga, orang-orang di sekelilingnya diberikan penjelasan tentang HIV/AIDS,'' katanya.

Tak bisa begitu saja berhasil. Butuh kerja keras Eko mengegolkan misinya itu. ''Bisa tiga bulan baru bisa diterima. Kasihan mereka (ODHA),'' katanya. (yr)