blog-image

 Masih Mengemis, Berangkat Naik Bus, Jelajahi Luar Kota
Sebanyak 52 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 150 jiwa Penyandang Masalah Kerawanan Sosial (PMKS), hingga kini menempati Liposos. Mereka menghuni tempat tinggal secara gratis dan mencari sumber penghidupan secara mandiri. Mulai meminta-minta hingga mengamen. Berikut laporan lengkapnya. 

SUKARNI, 72, perempuan asal Ponorogo terus mengurai senyum sembari duduk di depan barak yang ditinggalinya di Lingkungan Balongrawe, Kelurahan Kedundung, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto. Ia menempati salah satu bilik berukuran 3 meter x 3 meter dalam barak berukuran 6 meter x 18 meter.

Nenek yang ditinggal suaminya sejak tahun 1962 ini mengaku tinggal di Liposos sejak tahun 1992. "Pastinya lupa, yang saya ingat waktu itu saya diobrak dari stasiun," ujar dia.

Sukarni mengaku memiliki anak delapan. "Yang empat anak asli, dan yang empat tidak. Karena mereka mantu saya," candanya. Karena itu, dia tidak mau merepotkan mereka. Setelah suaminya meninggal, dia memilih pergi, meskipun tanpa tujuan yang jelas. "Daripada merepotkan anak, saya memilih pergi dari rumah," ujarnya. Sejak saat itu dia terus berjalan. Sampai akhirnya memilih hidup di stasiun. Makan dari minta-minta dan tidur di sudut-sudut stasiun.

Sampai akhirnya dia terjaring operasi dan tinggal di Liposos di RT/RW 4 Lingkungan Balongrawe. Bersama sejumlah warga lainnya yang juga menyandang berbagai kerawanan sosial. Mulai gelandangan, pengemis, hingga anak jalanan dan pengamen.

Hidup Sukarni kini tidak berbeda dari sebelumnya. Dia tetap hidup dari meminta-minta. Walaupun tempat tinggalnya sekarang lebih baik. Karena punya atap dan alas. Meskipun bangunannya hanya terbuat dari gedhek.

Karena tinggal di Liposos dia tidak diperbolehkan meminta-minta di jalanan ataupun perempatan. "Saya hanya mengemis di kampung-kampung di Mojosari," ungkapnya.

Meskipun tua renta, dia mengaku masih bisa naik bus. Karena itu, dia tidak khawatir meskipun mengemis di luar kota. "Berangkat pagi naik bus kuning Rp 2.500," ungkapnya.

Walaupun mengemis, dia tetap mengikuti kegiatan wajib di Liposos. Di antaranya tahlilan setiap Sabtu dan pertemuan PKK setiap tanggal 4. "Semua yang tinggal memang harus mengikuti kegiatan wajib," ujar Yudho Gutomo, ketua Liposos.

Selain dua kegiatan tersebut, masih ada satu kegiatan wajib. Yakni tahlilan bagi kaum laki-laki setiap Kamis malam. "Selain itu, tiap Minggu ada penyuluhan yang diadakan di Balai Liposos," jelas Yudho.

Di Liposos ada sejumlah peraturan yang berlaku. Di antaranya, penghuni tidak boleh beroperasi di lingkungan sekitar. "Penghuni Liposos tidak boleh mengemis, mengamen di perempatan atau jalan. Di lingkungan sini tidak boleh ada prostitusi, judi atau mabuk. Kalau sampai ketahuan, akan kita usir," katanya.

Yudho mengaku tinggal di Liposos sejak tahun 1989. Saat Liposos masih ditangani Dinsos provinsi. Di tempat tersebut ada empat barak. Dua barak berukuran 6 meter x 18 meter berisi 24 bilik masing-masing seluas 3 meter x 3 meter. Satu bilik berukuran 3 meter x 12 meter berisi 4 bilik seluas 3 meter x 3 meter.

Ketiga barak dibangun sebelum tahun 2000, dan bangunannya gedhek. Kini, kondisinya memprihatinkan. Satu-satunya barak yang dibangun oleh Pemkot Mojokerto pada tahun 2005 sudah berdinding permanen. Berukuran 8 meter x 16 meter terdiri atas 8 bilik berukuran 3 meter x 4 meter.

Sejak tahun 2001, Liposos dialihkan dari provinsi untuk ditangani pemkot melalui Dinkessos. "Dulu penghuni hanya dibatasi selama dua tahun. Setelahnya harus pindah. Di akhir batas waktu diberi pelatihan selama dua bulan. Kemudian diarahkan untuk kembali ke daerah atau transmigrasi," jelas Yudho. Karena memang warga kota yang tinggal sangat minim. Dari 52 KK, yang asli warga kota hanya 20 KK.

Namun, semua itu tidak ada setelah ditangani pemkot. "Tapi, kita juga tidak bisa serta-merta menyuruh penghuni pergi, walaupun sudah dua tahun, jika memang mereka belum punya tempat yang memadai," paparnya.

Saat ini, setiap tahun di Liposos hanya ada penyuluhan empat kali setahun. "Kalau ada program raskin, kita juga selalu dapat," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinkessos Kota Mojokerto Su’udiyah mengatakan, anggaran yang dikucurkan Pemkot Mojokerto jumlahnya sangat minim. Setiap tahun, APBD hanya mengalokasikan anggaran Rp 100 juta. Itu pun tidak diperuntukkan bagi Liposos. Melainkan juga untuk penanganan anjal dan PMKS lainnya.

"Meskipun anggaran minim, tapi pelatihan dan pemberdayaan tetap jalan terus," katanya. Untuk membatasi waktu hunian, Su’udiyah mengaku kesulitan. Sebab, banyak di antara mereka yang sudah berusia lanjut. Untuk dipindahkan ke panti jompo, juga tidak mungkin. Sebab, pemkot tidak memiliki fasilitas berupa panti jompo itu. Sehingga, untuk kemanusiaan, akhirnya mereka dibiarkan menghuni sembari menunggu pengajuan tinggal di panti jompo provinsi turun. (yr)