blog-image


Desain Gapura Berbentuk Kapal Untuk Lomba Agustusan
Menghadapi persaingan dan tingginya biaya produksi, tak cukup hanya mengandalkan semangat dan kreatifitas saja. Pasalnya, seringkali kreatifitas dan semangat itu terbentur masalah modal untuk bisa mengembangkannya.
"Kita tidak punya modal. Kita hanya punya kemampuan membuat kerajinan miniatur kapal. Karena itu kita selalu mengasahnya," kata Budi di sela-sela mempersiapkan pembuatan hiasan gapura berbentuk kapal latih KRI Dewa Ruci.

Menyambut peringatan hari kemerdekaan setiap orang memang bersuka cita. Segala upaya dilakukan untuk memeriahkan momen yang datang setahun sekali tersebut. Salah satunya dilakukan dengan menghiasi semua obyek yang dianggap penting. Terutama yang menjadi pusat perhatian masyarakat. Termasuk gapuro.

Siang kemarin, Budi dan Adi, warga Sinoman Gg IV Kelurahan Miji, Kecamatan Prajurit Kulon Kota Mojokerto terlihat sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk hiasan gapura yang ada di gangnya.

"Kita mempersiapkan layarnya. Setelah ini selesai, kita akan memasang hiasan lampunya. Agar kalau malam terlihat indah," kata Budi.

Sebelumnya, Budi mengatakan bahwa ia dan sejumlah warga lainnya telah menyelesaikan pembuatan badan kapalnya. Memang, di atas gapura yang ada di gang menuju rumah Budi telah terdapat badan kapal sepanjang 12 meter. Badan kapal itu masih kosong dan nampak belum sempurna. Belum ada balutan hiasan, layer dan lampu-lampu hias. "Tanggal 10 kemungkinan sudah selesai semua dan sempurna," kata Adi.

Keduanya memang mahir membuat hiasan berupa miniatur kapal. "Warga lainya juga banyak yang bisa, karena di sini dulu banyak yang membuat," papar Adi. Sejak kecil, Adi dan Budi sudah menggeluti usaha kerajinan miniatur kapal. Bakatnya seakan terasah sejak dini.

Adi mengaku mulai menggeluti kerajinan ini sejak tahun 1992. "Lulus SMA saya langsung ikut pembuatan kerajinan," kata bujang berusia 34 tahun ini.

Sementara Budi lebih lama lagi. "Sejak 1989 saya sudah mulai," tutur bapak satu anak kelahiran 1968 ini.

Selain menjadi pengrajin, dulunya, Budi juga menjadi pengusaha kerajinan. "Selain membuat sendiri saya juga mengambil dari pembuat lainnya. Produk saya pasarkan di Bali," ujar Budi.

Sekitar sepuluh tahun Budi menyewa toko di Bali. Senilai Rp 10 juta per bulan. Setiap menerima pesanan jumlahnya mencapai 1.000 biji per bulan. "Keuntunganya sampai Rp 30 juta dalam satu bulan," ungkapnya.

Sementara Adi, hanya membuat di rumah. "Menerima pesanan dan membuat atas permintaan pengusaha lain," tuturnya.

Namun, sejak beberapa tahun terakhir ini kondisinya berubah drastis. Yakni, saat tragedi bom Bali, yang berdampak pada menurunnya turis mancanegara. Sehingga pasaran kerajinan juga menurun drastis. "Sejak bom Bali memang pesanan sangat berkurang, pembeli minim, makanya saya pulang kampung," kata Budi.

Kini, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, keduanya mengaku bekerja seadanya. Mereka hanya membuat kerajinan bila ada pesanan. Itupun sangat jarang. "Setiap ada momen kita juga membuat hiasan untuk mengasah kemampuan. Selain itu, siapa tahu ada pemodal yang mau mendanai sehingga kita bisa menyalurkan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan," kata Budi yang dibenarkan Adi.

(Sumber        :        Radar Mojokerto)