blog-image

 

Tak Pernah Pindah, Merasakan Tujuh Kali Pergantian Kepala.

Harapan para tenaga honorer adalah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun, tidak semua honorer mempunyai kesempatan itu. Salah satunya Puji Siharti, honorer di Bagian Hukum Pemkot Mojokerto. Honorer sejak 1979, sampai sekarang tetap saja menjadi tenaga honorer. Bahkan, dirinya harus tersisih, karena usianya melewati batas maksimal ketentuan database.

Meskipun pakaian yang dikenakan sama persis dengan seragam pegawai negeri sipil (PNS), namun perempuan itu sejatinya bukan PNS. Perlahan dia menghentikan langkahnya menghampiri sebuah kursi di ruang tamu Kantor Bagian Hukum Pemkot Mojokerto. Sebentar kemudian, perempuan yang mulai menampakkan kerutan di wajahnya itu duduk dan bersandar di kursi tersebut. Kepalanya yang saat itu berbalut kerudung hitam, berusaha ditahan untuk tidak bersandar. Perempuan itu tak muda lagi. Usianya sudah berkepala lima. "Lima puluh empat tahun," ungkap lulusan SMEA Pancasila itu pelan berusaha memberitahukan usia sebenarnya. Pandangannya lurus ke depan. Seolah memendam sebuah perasaan yang ingin sekali dia utarakan. Sejenak suasana terasa hening, sebelum akhirnya dipecahkan dengan deretan pengakuan perempuan itu.

Namanya Puji Siharti, lahir pada 17 Desember 1952. Dirinya merupakan satu dari sejumlah honorer di lingkungan Pemkot Mojokerto yang tersisih dari ketentuan database untuk selanjutnya bisa menjadi PNS. Berkali-kali ikut tes CPNS, namun belum juga lolos. "Yang bisa masuk database usianya maksimal 46 tahun. Sedangkan waktu ada database, usia saya sudah 53 tahun," ungkapnya dengan kedua tangannya yang terus bergenggaman. Tak ada harapan lagi, mungkin itu yang kini ada di benaknya. Hanya gara-gara sebuah kebijakan yang tidak berpihak kepadanya, keinginannya untuk menjadi PNS sejak dulu hanya tinggal harapan hampa.

"Sebentar lagi saya pensiun. Karena bukan PNS, sehingga saya tidak mendapatkan pensiun," ungkapnya yang hingga kini mengaku masih menempati rumah kontrakan. Dia tidak punya rumah, hanya dengan gaji honorer Rp 750 ribu ditambah uang pengganti beras Rp 75 ribu, dirinya selama ini hidup bersama suami dan anaknya di Ngaglik, Kelurahan Kranggan.

Keterkejutan sempat menyelimuti, ketika mendengar pengakuan polosnya. Pengangkatan menjadi honorer saat itu menggunakan PP No 31/1974. Masih ingat, dirinya mengawali tugasnya menjadi honorer di Bagian Hukum pada tahun 1979. "Saya mendapatkan SK pada Desember 1978," katanya. Hari-harinya pun berubah. Sejak saat itu, dirinya mengabdikan diri menjadi honorer di lingkungan pemkot. Sebulan, sebagai pegawai honorer ketika itu dia hanya memperoleh gaji Rp 12 ribu. Saking telatennya, perempuan itu terus menjalani profesinya sembari berusaha mengikuti tes setiap ada rekrutmen CPNS. Namun, beberapa kali rekrutmen, nasibnya tak berpihak. Hingga suatu saat, dirinya tak lagi bisa mengikuti tes lagi, karena ada batasan usia.

Namun, ketika sinar cerah menerpa wajah setiap honorer dengan adanya mereka diprioritaskan dalam rekrutmen, Puji malah tidak bisa menikmatinya. Keluhan pun sempat diutarakan ke Wali Kota Mojokerto Abdul Gani Suhartono melalui kotak pengaduan. Meskipun nasib seolah tak berpihak kepadanya, namun karena tidak ada lagi pilihan untuk dirinya mengais pendapatan, pegawai honorer itu terus dijalani. Hari-harinya pun tak ada perubahan.

Diingatnya, sejak awal diangkat menjadi honorer hingga sekarang, tetap tidak berubah tempat tugas. "Selama menjadi honorer sampai sekarang, saya tetap di bagian hukum ini," ujarnya. Selama itu juga diingatnya sudah berganti kepala sampai tujuh kali. Sedangkan di mata pimpinan sekarang, perempuan ini sangat rajin dan hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Namun, sekali lagi Puji tetap mengharap bisa menjadi PNS. Mungkinkah bisa, perasaan itu juga kerap menggelayut tatkala melihat kebijakan sekarang ini. Di usianya yang kini sudah 54 tahun, Puji sekarang tetap menjadi tenaga honorer. Dan, memang selain dia, ternyata masih ada sekitar 48 orang honorer yang bernasib sama. (*)

Sumber   : Tulisan ABI MUKHLISIN, Radar Mojokerto