Di Kota Masih Buntu
  • Post by kota on 21 November 2006
blog-image


SEMENTARA itu, upaya Dewan Pengupahan Kota (Depeko) Mojokerto menetapkan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL), terancam menemui jalan buntu. Menyusul, hingga kemarin mereka belum berhasil menelurkan kesepakatan terkait penetapan angka KHL. Lebih ironis lagi, mereka juga masih kebingungan menetapkan hasil survei.

Hal ini dikarenakan adanya tarik-ulur hasil survei antara pihak serikat buruh dengan Apindo. Masing-masing pihak tetap berpegang pada pendiriannya, sehingga semakin menyulitkan penentuan KHL. Padahal, hasil survei ini akan dijadikan acuan dalam menetapkan angka KHL.

Kondisi tersebut dikhawatirkan merugikan buruh. Alasannya, jika sampai hal ini terjadi terus-menerus, terbuka kemungkinan bakal dikembalikan ke UMK tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2005 lalu, UMK Kota Mojokerto sebesar Rp 600 ribu. Peluang itu pun diperparah dengan telah terlampauinya deadline yang disediakan pemerintah provinsi kepada daerah mengajukan angka UMK, yaitu 18 November 2006. "Memang kalau kondisi ini berlangsung terus, sangat merugikan buruh. Sebab, UMK akan dikembalikan seperti tahun sebelumnya," kata Mustofa, koordinator Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) yang juga masuk dalam Dewan Pengupahan.

Bahkan, untuk memperjuangkan upah para buruh tersebut, dirinya bersama serikat buruh lainnya, antara lain SPSI dan Sarbumusi, langsung melayangkan surat ke Wali Kota Mojokerto Abdul Gani Suhartono dengan tembusan ketua DPRD Kota Mojokerto dan Gubernur Jatim. Surat bernomor: 10/ADM/FBKM/XI/2006 tersebut menuntut KHL Rp 750 ribu dengan UMK Rp 720 ribu. "Angka yang kami ajukan itu sudah memerhatikan kondisi pengusaha," katanya.

Sayangnya, surat yang mengatasnamakan Forum Buruh Kota Mojokerto (FBKM) tersebut tidak langsung diterima Wali Kota Mojokerto yang merupakan pembina Depeko. Karena yang bersangkutan di luar kota, aktivis serikat buruh itu ditemui Wawali Hendro Suwono.

Tak hanya itu, siang harinya, unsur Depeko lainnya, yaitu Disnaker dan pihak netral menghadap Wawali. Rencananya, mereka bersama-sama dengan serikat buruh dan Apindo. Namun, pada kenyataannya, mereka menghadap tanpa serikat buruh dan Apindo juga tidak datang.

Sutikno, wakil ketua Depeko yang merupakan unsur netral dari kalangan akademisi juga mengakui, sejauh ini belum ada kesepakatan. Hal itu dipicu karena belum ada kesamaan antara pihak serikat buruh dengan Apindo. Dirinya mengaku sangat kebingungan dengan kondisi tersebut. "Sangat sulit mencapai kesamaan atau kesepakatan dari keduanya. Serikat buruh dan Apindo masing-masing mempunyai prinsip, dan tentunya kepentingan," katanya setelah keluar dari ruangan Wawali. Kedatangannya itu juga karena erat kaitannya dengan persoalan tersebut. Pihaknya menyerahkan kepada pemkot untuk memberikan petunjuk langkah-langkah yang harus dilakukan. Sayangnya, dirinya tidak menyebutkan beberapa hal yang menjadi perbedaan antara serikat buruh dengan Apindo.

Meskipun demikian, diperoleh informasi dan dibenarkan serikat buruh, bahwa yang belakangan menjadi tarik-ulur adalah penetapan hasil survei kebutuhan air bersih dan listrik. Angka yang dihasilkan keduanya sangat jauh berbeda.

Sumber     :     Radar mojokerto