Dinkes Hentikan Terapi Ion
  • Post by kota on 27 July 2006
blog-image


Alat Belum Registrasi, Praktik Belum Izin
Praktik terapi ion yang banyak menjamur di Kota Mojokerto, mulai terusik. Hal itu menyusul langkah Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Mojokerto memberikan surat perintah penghentian praktik pengobatan tersebut. Selain karena peralatannya belum ada registrasinya dari Depkes RI, juga belum ada izin praktik dari Dinkes setempat.
Kepala Dinkes Kota Mojokerto dr Ambar Sutrisno kepada wartawan menegaskan, pihaknya telah menyebar surat penghentian praktik tersebut dengan melayangkan surat Nomor 440/1404/417.312/2006 tertanggal 17 Juli lalu. "Surat itu merupakan peringatan pertama, dan akan kami lanjutkan dengan turun lapangan bersama satpol PP," katanya.
Terapi ion yang menawarkan dapat mengeluarkan toksin atau racun berbahaya dari dalam tubuh tersebut, menurut Dinkes, sejauh ini belum terbukti. Bahkan, tegas disebutkan dalam surat Dinkes Provinsi Jatim yang menjadi acuan penghentian tersebut, bahwa manfaat dan keamanan bagi kesehatan masih meragukan. Sedangkan suratnya tersebut, dikatakan Ambar, merupakan langkah tindak lanjut dari surat Kepala Dinkes Provinsi Jatim yang diterima sebelumnya. Surat bernomor 445/4290/111.4/2006 tersebut tertanggal 10 Juli lalu. "Kami melayangkan surat perintah penghentian praktik itu ke 12 penyelenggara praktik di kota ini," katanya.
Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinkes Provinsi Jatim dr Bambang Giatno juga menyebutkan, bupati/wali kota agar menghentikan praktik sambil menunggu persyaratan tersebut dipenuhi sesuai aturan perundang-undangan. Langkah Dinkes Provinsi tersebut berdasar pada tugas dan fungsinya, antara lain dalam Perda 37 tentang kewenangan dalam rangka pembinaan ke kabupaten/kota. Selain itu, Kepmenkes Nomor: 1076/2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional.
Namun, langkah Dinkes tersebut memantik reaksi protes dari penyelenggara. Di antaranya Tono, pria yang membuka praktiknya di Jl Residen Pamuji itu mengaku kecewa dan menyayangkan kebijakan Dinkes melarang membuka praktik terapi ion tersebut. Meskipun dirinya sendiri secara langsung belum menerima surat Dinkes, namun dirinya mempertanyakan munculnya sikap tersebut. Alasannya, terapi atau pengobatan alternatif, banyak macamnya. "Padahal, ini kan terapi. Semestinya sama dengan terapi lainnya. Namun, mengapa hanya terapi ion yang dilarang, sedangkan lainnya tetap bebas beroperasi?" ungkapnya ketika ditemui di tempat praktiknya kemarin.
Selain karena menghentikan pekerjaannya, dirinya juga mengaku dirugikan karena telanjur membeli alatnya seharga Rp 3 juta. Padahal, orang yang datang menggunakan jasanya tersebut selama ini juga tidak dirugikan. Bahkan, terdapat di antara mereka yang kembali sampai lima kali. Sebab, jika sudah berkali-kali itu dirinya memberikannya secara gratis. Padahal, biasanya selama 30 menit dikenakan biaya Rp 5 ribu. "Mereka yang datang itu banyak yang cocok. Bahkan, banyak yang kembali," katanya.
Kekecewaan juga tampak dari Riono. Ketika ditemui di tempat praktiknya di Jl Empunala, dirinya mengaku telah menerima surat dari Dinkes. Dengan adanya surat larangan tersebut, dirinya memilih berhenti buka. Selain spanduk, dirinya memasukkan alatnya ke rumah.
Dirinya mengaku telah membuka praktik sekitar sebulan. Dimulai 26 Juni lalu dengan modal peralatan pinjaman dari Surabaya. Sehingga, dengan beredarnya surat Dinkes, maka kemungkinan alatnya akan dikembalikan. Padahal, selama sebulan membuka praktik, terbilang banyak orang yang memanfaatkan jasa pengobatan tersebut. Selama 30 menit, pelanggan dikenakan biaya Rp 10 ribu. "Malah ada yang merasakan cocok. Dua kali melakukan terapi, asam urat yang melilitnya berangsur sembuh," kata dia.
Sumber : Radar Mojokerto