ARTIKEL


Junk Food
Rabu, 26 Maret 2008

Siapa yang tak kenal junk food? Meski namanya seseram itu, tetap saja banyak berminat terhadapnya. Ini diakui sendiri oleh Fransiska Zakaria, pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor. "Junk food banyak diminati oleh masyarakat karena mudah diperoleh, murah, dan rasanya enak," katanya.

Tapi junk food bukanlah mitos. Dari namanya saja sudah jelas bahwa jenis makanan ini populer karena nilai gizinya yang minim. Ia bahkan mendapat predikat sampah karena memang kandungannya nyata berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Zat kimia pewarna, perasa palsu, pengawet, pemutih, pengabur, dan pengasam di dalamnya bisa memicu penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kanker, bahwa pikun. Yang lebih "menyebalkan", junk food mudah membuat perut kenyang, sehingga tak ada tempat lagi untuk makanan sehat.

"Junk food banyak mengandung karbohidrat dan lemak, sedangkan tubuh juga butuh berbagai zat gizi, vitamin, protein, serat, dan mineral," kata Fransiska di sela peringatan Hari Hak Konsumen Sedunia, Minggu lalu.

Bukan berarti juga junk food jadi barang haram. Mengkonsumsinya saja yang perlu dibatasi. Fransiska menetapkannya maksimal 10 persen dari total asupan makanan dalam sehari. "Misalnya memakan biskuit hanya dua potong, lalu ditambah sayur yang lebih banyak," katanya.

Joanne Larsen, dari situs Ask Dietitian, menyatakan setiap orang memiliki daftar makanan sampahnya sendiri-sendiri. Kriteria paling umum adalah penganan yang tinggi kadar garam, gula, lemak, atau kalorinya.
Dari kriteria itu, makanan ringan, permen, kue-kue pencuci mulut, gorengan cepat saji, dan minuman berkarbonasi adalah sumber utama junk food. Meski begitu, tidak ada gunanya juga bertindak radikal dengan mem-black list seluruh penganan ringan tersebut.

Jauh lebih bijaksana jika kita mencermati label nutrisi atau bahan penyusun setiap penganan. Supaya lebih mudah, cari saja dalam daftar itu komponen gula, lemak, atau garam sebagai prioritas. Kalau mereka tergolong tinggi dibanding yang lain, Anda bisa menganggapnya sampah.

Sumber : TEMPO Interaktif