ARTIKEL


PERAN PARTAI POLITIK DI TENGAH KRISIS
Selasa, 25 Maret 2008

PERAN PARTAI POLITIK

DI TENGAH KRISIS KEPARCAYAAN MASYARAKAT

Studi kasus Pilkada di beberapa daerah di Jawa-Timur dimana muncul wacana calon Independen dan Pilkada Bojonegoro serta beberapa daerah di Indonesia sebagai catatan

Oleh : HENDRO SUWONO,SH,CN,MH

Keterwakilan Parpol dalam Pemerintahan cenderung berorientasi Kekuasaan dan lebih mementingkan kelompok/partainya adalah realitas politik dari sistem politik Ketatanegaraan Indonesia. Namun sejak reformasi digulirkan, tuntutan Demokratisasi yang merupakan salah satu agenda reformasi, menjadi wajar ketika dalam prakteknya dominasi kekuasaan ada di tangan parpol dianggap tidak mewakili kepentingan masyarakat secara umum, walaupun dalam sistem kepartaian yang di atur dalam UU no. 31/2002 tentang Parpol , memberikan peluang tumbuhnya banyak parpol yang diharapkan bisa menjembatani semua kepentingan masyarakat yang diwakilinya . Sistem Multi Partai bahkan sudah kita laksanakan sejak pemilu 1999, yang kemudian lahir UU no.12/2003, tentang Pemilu DPR,DPD dan DPRD serta UU no. 22/2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. Bahkan dengan men-Amandemen UUD 1945, terjadi perubahan mendasar dalam Ketatanegaraan kita, yaitu lahirnya Lembaga baru Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili kepentingan daerah seiring berjalannya Otonomi Daerah. DPD tersebut merupakan manifestasi dari perwakilan perseorangan untuk menggantikan posisi Utusan Daerah dan Golongan dalam MPR. Disamping itu, MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara menyusul dengan di-Undangkannya UU no. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung .

Melihat kenyataan di atas, lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut merupakan manifestasi demokratisasi yang tidak mungkin kita dapatkan di era sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri kesemuanya itu tidak lepas dari peran dan keterwakilan Parpol baik yang ada di Eksekutif maupun Parlemen/Legislatif.

Beberapa kalangan masyarakat, baik pengamat politik, akademisi dan Intelektual dalam beberapa kesempatan melalui seminar dan dialog interaktif di media elektronik maupun media masa, membicarakan peran parpol yang dianggap hanya berorientasi pada kekuasaan dan hanya mewakili kelompok/partainya sehingga belum mewakili seluruh kepentingan masyarakat. Disamping itu prakteknya, di dalam parpol sendiri seringkali kebijakan-kebijakannya tidak demokratis dan cenderung otoriter (apa kata Ketua Parpol). Hal ini didukung oleh kondisi masyarakat kita yang Paternalistik, bahkan parpol yang berbasis agama(Islam) sangat dipengaruhi oleh politik kultural dimana kebijakan-kebijakan politiknya sangat tergantung dari para Kyai. Polemik pencalonan Sutjipto yang kader PDIP dengan Sukarwo yang bukan kader PDIP dalam PILGUB, dimana penjaringan dari tingkat bawah dimenangkan oleh Sukarwo tetapi masih harus menunggu siapa dari dua calon tersebut yang direkom oleh DPP PDIP. Begitu pula dengan PKB yang tergantung dari GUS DUR atau Partai Keluarga (darah biru), dan bahkan munculnya wacana calon Independen dalam PILKADA, baik PILGUB maupun Bupati/Walikota, menarik dibicarakan dan bahkan kalangan LSM akan mencoba menekan DPR agar mensahkan calon Independen yang berarti harus merubah UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dilaksanakannya Sistem Multi Partai Tahun 1999, Parpol2x Peserta Pemilu diharapkan agar bisa mewakili, menampung aspirasi dan kepentingan seluruh masyarakat. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara dan bangsa yang besar serta terdiri dari beragam budaya, agama, etnis dan golongan, sehingga perlu mengakomodir berbagai kepentingan politiknya dalam wadah-wadah politik/parpol sebagai alat perjuangannya. Namun mengapa dalam perjalanan-nya akhir2x ini justru banyak kalangan yang mempertanyakan peran parpol yang dianggab tidak representatif bahkan terjadi krisis kepercayaan terhadap parpol ? Disamping itu muncul pula wacana Calon Independen dalam PILKADA, baik PILGUB maupun BUPATI/WALIKOTA secara langsung?

Mahkamah Konstitusi telah menetapkan adanya Calon Independen, adalah realitas politik walaupun memunculkan reaksi beragam. Konsekuensinya harus merubah UU no.32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Begitu pula saat ini dalam pembahasan RUU Pemilu dan Partai Politik khususnya tentang Sistem Pemilu terjadi perdebatan dan tarik ulur di DPR RI/Parlemen antara Partai besar dan kecil, terkait dengan Sistem Proporsional. Akankah membawa dampak posistif dalam Perpolitikan di Indonesia?

Peran Partai Politik di Indonesia

Sejarah Ketatanegaraan kita, terjadi pasang surut dalam membangun Sistem Pemerintahan. Pada dasarnya, Negara yang kuat dan didukung oleh Pemerintah yang kuat tanpa memberi ruang terhadap peran serta (Partisipasi) segenap komponen masyarakat serta tidak memberi peran Lembaga Negara baik Legislatif maupun Yudikatif dalam proses pembangunan dan demokrasi, maka Negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Negara Demokrasi. Negara tersebut cenderung Otoriter dan berorientasi pada kekuasaan, bahkan membentuk Hegemoni/ dominasi kekuasaan/kekuatan negara terhadap masyarakat, sehingga ruang Demokrasi tertutup. Akibatnya adalah Pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak secara signifikan mendatangkan “Kemakmuran dan Keadilan”. Lihat sebagai contoh pemerintahan Marcos di Philipina, Reza Pahlevi di Iran sebagian besar negara Amerika Latin dengan pemerintahan otoriter sekitar tahun 1960-1980, dan Indonesia era Soekarno dan Soeharto, telah mengalami pasang surut kehidupan politik dan demokrasi.

Historis dan Empiris Ketatanegaan Bangsa Indonesia sejak 1945 hingga 1998, menyisakan trauma dan rasa takut di masyarakat sehingga terjadinya perubahan Pemerintahan ORLA, ORBA ke Reformasi seakan memberi harapan masyarakat akan Pemerintahan yang Demokratis dan bisa membawa kemakmuran serta keadilan di tengah krisis multidimensional. Walaupun di awal cenderung terjadi Euforia, akan tetapi mampu melahirkan perubahan kebijakan secara mendasar. Kondisi tersebut menuntut Partai Politik untuk berperan menjembatani dan menampung aspirasi masyarakat serta memperjuangkan kepentingan2x-nya. Tidak hanya itu, dalam UU No.32/2004 tentang PEMDA, khususnya dalam PILKADA secara langsung, Parpol harus memberi jalan/menampung Calon Perorangan agar bisa mencalonkan diri, sehingga parpol dituntut untuk secara demokratis mengakomodirnya. Apabila parpol tidak mampu melaksanakan dan bahkan secara Internal tidak mereformasi diri dengan kaderisasi kepemimpinan secara baik dan lewat kebijakan-kebijakannya yang demokratis, maka akan ditinggalkan oleh masyarakat/konstituennya.

Kenyataan di atas bisa kita terima apabila masyarakat terus menginginkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, namun bila terjadinya krisis kepercayaan terhadap parpol tersebut diakibatkan adanya Kelompok Kepentingan atau Vested Interes yang merasa belum terwakili, kemudian menuntut, seperti Kaum Gender sehingga lahir kebijakan 30 persen di sahkan tanpa kemudian Kaum Gender tersebut berjuang sendiri, maka justru hal ini mengalami kemunduran dalam membangun Sistem Perpolitikan dan Demokrasi di Indonesia. Sebab sebelumnya pernah diatur dalam UUD 1945 sebelum di Amandemen, yaitu adanya Utusan daerah dan Golongan-golongan melalui penunjukan/pengangkatan tanpa dipilih, sehingga kemudian dipandang tidak demokratis bahkan dianggap tidak mewakili daerahnya/golongannya.

Sistem Multi Partai pada dasarnya memberikan peluang seluruh masyarakat untuk berjuang dan menyalurkan kepentingannya baik dengan mendirikan partai maupun melalui partai yang sudah ada. Hal ini telah sesuai pula dengan Konstitusi kita akan kebebasan berserikat dan berkumpul, sehingga jangan sampai kemudian ada pemaksaan kehendak bahkan anarkhis, premanisme dll yg bisa men-ciderai Demokrasi itu sendiri. Begitu pula dengan wacana Calon Independen dalam PILGUB dan PILKADA, walaupun Mahkamah Konstitusi memutuskan adanya Calon Independen ( cenderung menyimpang Prinsip2x dari Sistem Perwakilan Politik yang diperankan oleh Parpol), tetapi mekanisme pelaksanaannya haruslah dikembalikan kepada pembuat kebijakan yaitu Presiden dengan persetujuan DPR, sehingga saat ini terjadi tarik ulur dalam pembahasan RUU Pemilu dan Parpol serta perubahan UU no.32/2004, antara Partai Besar dan Kecil akan menjadi wajar sepanjang diputuskan secara demokratis. Disamping itu, Sistem Multi Partai di manapun di dunia selalu mengalami kekacauan dimana ada Partai kecil tetapi memiliki pengaruh sangat besar dari dukungannya dalam masyarakat.

Pada masa Pra-Demokrasi Terpimpin (Nopember 1945-Juni 1959), Sistem Parlementer menyebabkan eksistensi Kabinet sangat diwarnai oleh Parpol yang ada dalam Parlemen/Legislatif, sehingga Kabinet yang terbentuk adalah Kabinet Parlementer . Dengan demkiian posisi Parlemen sangat kuat dan terjadi ketidakseimbangan dalam Pemerintahan sehingga Kebijakan-kebijakan Pembangunan dari Eksekutif dalam hal ini Presiden banyak yang tidak dapat dijalankan. Hal itulah yang memicu munculnya gerakan Ekstra Parlementer dimana Presiden dibantu Tentara untuk membubarkan Parlemen dan lahirlah masa Demokrasi Terpimpin dengan menetapkan Presiden seumur hidup. Namun setelah Juni tahun 1959 kita kembali ke UUD1945, dimana Presiden sebagai Mandataris MPR serta Menteri2x dibawah kendali Presiden, sehingga lahirlah kabinet Presidensiil dengan Demokrasi Terpimpin. Banyak penyimpangan2x yang dilakukan Presiden waktu itu, yaitu telah melampaui wewenang Legislatif seperti adanya PP no 14/1960, bila Legislatif tidak bisa mengambil keputusan terkait RUU/tdk ada kata mufakat maka Presiden bisa memutuskan sendiri. Begitu pula dengan turut campurnya thd Lembaga Yudikatif dengan lahirnya UU no 19/1964 yang dianggap menyimpang dari UUD 1945. Setelah itu lahirlah Pemerintahan ORBA dengan Ketetapan MPRS no XXXXIV/1968, Soeharto diangkat sebagai Presiden dan setelah Pemilu 1977 terjadi Fusi dr Multi Partai menjadi dua(2) Parpol dan Golkar sebagai Organisasi Peserta Pemilu (OPP).

Kalau kita melihat Sistem Pemerintahan ERA ORBA (1967-1999) ,kehidupan Demokrasi dan Politik dimatikan yang secara sistematis tidak dikembangkan sesuai dengan keinginan masyarakat & perkembangan politik global, maka dampaknya adalah terciptanya Budaya Politik Paternalistik yang berorientasi pada “KEKUASAAN”.

Dominasi Eksekutif, yaitu Presiden dalam hal ini Soeharto sebagai Mandataris MPR, di Birokrasi Pemerintahan dan Militer, ditambah dengan difusi-kannya Jumlah Partai yang sebelumnya Multi Partai menjadi dua(2) Partai plus Golkar yang ketiganya tidak bisa dikatakan sebuah Parpol, karena kekuasaan Soeharto mampu meng-hegemoni dan menjadikannya sekedar sebagai OPP(Organisasi Peserta Pemilu). Hegemoni Kekuasaan itu sangat sistematis dan terstruktur sampai di tingkat daerah baik Propinsi maupun Kab/Kota , sehingga Pemerintahan cenderung sentralistis dan otoriter serta Personal yaitu Soeharto yang telah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun dengan Demokrasi Pancasila yang hanya dijadikan alat Kekuasaan semata. Konsepsi Kekuasaan seperti ini mirip dengan Konsep Gramsci tentang Hegemoni. Dalam Konteks Politik modern, Negara (State) semakin lama semakin kuat dan besar, maka akan sulit dikontrol sehingga rakyat/masyarakat cenderung dieksploitasi.

Keseimbangan Eksekutif dan Legislatif

Perjalanan Perpolitikan di negeri ini telah membuat sejarah yang patut untuk kita pelajari dan diambil hikmahnya. Hal ini adalah wujud refleksi kita sebagai bangsa yang ingin membangun Negara menjadi lebih baik/modern, adil dan makmur dengan Sistem Pemerintahan yang Demokratis mampu mengayomi dan melindungi masyarakatnya serta mensejahterakannya. Sejarah yang buruk harus kita perbaiki jika tidak bisa, baru kita tinggalkan dan sejarah yang baik harus kita lanjutkan agar lebih baik lagi, sebab sejarah adalah cermin dan refleksi perjuangan serta dinamika masyarakat. Oleh karena itu di era Reformasi dan Otonomi Daerah ini merupakan manifestasi dari refleksi perjalanan sejarah bangsa dan sekaligus bagaimana membangun sebuah Sistem Pemerintahan yang baik. Artinya disamping Demokratis, antara Eksekutif dan Legislatif sebagai organ yang di dalamnya bertugas untuk membuat Kebijakan dan menjalankan roda Pemerintahan tersebut yg bermuara pada Tujuan dan keinginan masyarakat. Sebab yang dihadapi bangsa ini sangat komplek dengan belum keluar-nya dari Krisis Multidimensional, sehingga diperlukan Stabilitas Politik maupun Ekonomi.

Melihat realitas politik diatas secara Konstitusional Pemerintahan menganut Sistem Presidensiil dimana para Menteri dalam Kabinet bertanggung Jawab kepada Presiden. Namun kalau kita lihat dalam prakteknya, Pemerintahan SBY & YK lebih mengarah pada Sistem Parlementer, dimana Kabinet Indonesia Bersatu pada dasarnya adalah Kabinet Koalisi yang merupakan cermin dari koalisi Parpol, walaupun sebenarnya Kabinet tsb otoritas dari Presiden. Sementara Partai besar (Partai Golkar dan PDIP) sebagai Partai pemenang pemilu pertama dan kedua serta mayoritas dalam Parlemen/Legislatif menyatakan sebagai Partai Oposisi. Padahal adanya Oposisi dalam Parlemen/Legislatif adalah cermin dari Sistem Parlementer, sehingga terkesan mengambil jalan tengah dengan harapan terjadi keseimbangan antara Eksekutif dan Legislatif.

.Hal itu bisa kita lihat ketika Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dilaksanakan tahun 2004 yang lalu. SBY dalam Pemilu 2004 terpilih menjadi Presiden dan YK sebagai Wakil Presiden, sehingga mempunyai pengaruh yang cukup besar di masyarakat. Secara Konstitusional, UUD 1945 yang di- Amandemen, hasilnya Presiden Tidak lagi menjadi Mandataris MPR dan susunan MPR berubah terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih dalam Pemilu. Tidak semua anggota MPR adalah anggota DPR, begitu juga tidak semua anggota MPR adalah anggota DPD. MPR kemudian berubah hanya menjadi Lembaga Tinggi Negara saja. Kedaulatan Rakyat tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada MPR, sehingga Tugas dan Kewenangan MPR hanyalah melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu, disamping merubah dan menetapkan UUD 1945 dan atas usul DPR dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD. Namun demikian tidak cukup kuat dukungannya di Parlemen/Legislatif, karena SBY yang didukung oleh Partai Demokrat yang juga parpol pendatang baru bukan partai pemenang dalam pemilu ParlemenLegislatif.

Kondisi politik seperti di atas justru nampak terjadi kekacauan politik di awal Pemerintahan SBY dan YK, jika tidak ada perubahan Konstelasi politik dalam Parlemen/Legislatif. Banyak Kebijakan2x dari Eksekutif ( SBY & YK ) yang tidak berjalan, artinya banyak RUU yang mandek ditingkat pembahasan di DPR. Hal itu terjadi pula di tingkat daerah dimana Kepala Daerah terpilih bukan dari Parpol Mayoritas di daerah, seperti Pilkada Tuban, Ngawi, terakhir Bojonegoro di Jawa Timur serta di daerah2x lain di Indonesia.

Perubahan situasi/konstelasi Politik terjadi ketika YK sebagai Wakil Presiden yang waktu itu bukan dari representasi Parpol dalam MUNAS Partai Golkar terpilih sebagai Ketua Umum, sehingga Partai Golkar yang notabene-nya parpol mayoritas di Parlemen/DPR berubah menjadi Parpol yang mendukung (berkoalisi) Pemerintahan SBY & YK. Konsekuensinya harus membagi secara jelas Fungsi, Peran dan Kewenangan (Kekuasaan) antara Presiden Dan Wakil Presiden. Namun belum bisa dijamin Pemerintahan bisa stabil manakala Presiden dan Wakil Presiden merupakan hasil koalisi yang dalam hal tertentu mempunyai kepentingan politik berbeda. Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri di Kabinet seperti kasus resuffle Yusril (mantan Menteri Sekretaris Negara) salah satu Elit Parpol yang ada di Parlemen dan baru-baru ini Para Elit Partai Demokrat, dimana merupakan Parpol yang mengusung SBY, mempersoalkan kritik yang dilontarkan oleh Parpol2x yang notabene-nya adalah pendukung/koalisi Pemerintahan SBY yg ada di Parlemen/Legislatif tentang hasil kinerja Pemerintahan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) selama 3 tahun yang dianggap belum berhasil. Hal ini bisa berdampak terhadap Pemerintahan jika direaksi dengan menarik dukungannya. Apabila kondisi tsb menyebabkan terjadinya perubahan Koalisi di Parlemen/DPR terkait dengan persoalan di atas atau tdk ada kata mufakat terhadap RUU2x di atas, tentu dikhawatirkan terjadi konflik politik, sehingga Pemerintahan menjadi mandek dan Stabilitas Politik dan Ekonomi akan terganggu.

Tidak konsistennya ( tidak jelas dan tegas) terhadap prinsip dasar( Presidensiil maupun Parlementer) yang digunakan sebagai Landasan Dasar (UUD 1945 setelah di-Amandemen) dalam membangun Sistem Pemerintahan kita, telah memberi ruang Eksekutif dan Legislatif untuk saling menguasai/mendominasi demi mengamankan kepentingan politiknya masing2x. Langkah dan Keputusan yang paling krusial seringkali diambil adalah dengan jalan Pragmatis. Manifestasi dari jalan Pragmatis itu adalah langkah2x Kompromi Politik atau lebih fatal lagi terjadi konspirasi politik, sehingga Eksekutif (Presiden/Kepala Daerah) akan melakukan burgaining politik demi mempertahankan Kekuasaannya, sedangkan Parlemen/Legislatif ( DPR ) demi kepentingan partai/kelompok atau pribadi dengan alasan untuk konstituen.

Perihal di atas terjadi pula di daerah di masa Otonomi Daerah sekarang ini, sehingga Keuangan Negara (APBN/APBD) yang dialokasikan untuk kepentingan publik lebih kecil dan tidak sebanding dengan belanja rutin mereka. Banyak program pembangunan yang kurang memihak/tdk menyentuh kepentingan mendasar dari masyarakat yaitu kemiskinan, pengangguran dll, tetapi sebaliknya program2x yang cost-nya sangat besar di arahkan utk kepentingan parpol dan Proram Pembangunan yg cenderung pemborosan bahkan banyak terjadi penyimpangan (KORUPSI) yg sangat merugikan Negara. Dengan demikian, Tujuan Pembangunan yg akan mendatangkan “Kemakmuran dan Keadilan” semakin jauh dari harapan.

Demokrasi Konstitusionil Berdasarkan PANCASILA

Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”, mengatakan bahwa perjalanan Demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut . Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana dengan masyarakat yang beraneka ragam budaya, etnis dan bahasa serta agama ini bisa sejahtera secara ekonomis dengan kehidupan sosial dan politik yang demokratis.

Kita pernah mengalami tiga (3) masa dalam ber-Demokrasi, yaitu masa Demokrasi Parlementer (dominasi Parlemen/Legislatif di masa ORLA), masa Demokrasi Terpimpin (menyimpang dari Konstitusi/UUD1945 dengan Presiden seumur hidup dan Masa Demokrasi Pancasila (dominasi Eksekutif/Presidensiil yang sentralistis dan Otoriter di masa ORBA).

Dengan merefleksikan pengalaman sejarah dari tiga (3) masa yang pernah kita praktekkan dalam membangun Sistem Ketatanegaraan dan Sistem Demokrasi, maka secara Konstitusional, dalam UUD 1945 hasil Amandemen, Pemerintahan kita saat ini menganut Sistem Demokrasi Konstitusional berdasarkan PANCASILA. Sistem Demokrasi dimana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan perlu diwujudkan Lembaga Pemusyawaratan Rakyat, Lembaga Perwakilan Rakyat dan Lembaga Perwakilan daerah yang diharapkan menampung aspirasi seluruh masyarakat di daerah serta membentuk Lembaga Ke-Presiden-an yang bisa melaksanakan dan meningkatkan kesejahteraan masy secara ekonomi dengan didukung oleh partisipasi masyarakat serta menghindarkan adanya diktatur baik perorangan, partai maupun militer.

Oleh karena itu diharapkan terjadi keseimbangan antar lembaga, baik Eksekutif maupun Legislatif, sehingga tidak ada yang saling men-dominasi satu sama lain. Tujuannya adalah bagaimana tercipta Stabilitas Ekonomi dan Politik, sehingga terwujud tatanan masyarakat yang dinamis dan demokratis serta sejahtera adil dan makmur. Namun kalau melihat dalam prakteknya Sistem Pemerintahan kita masih berusaha mencari bentuk dan itu nampaknya yang menjadi ciri/kebiasaan masy/ penentu kebijakan/ elit politik kita bila tidak mau dikatakan selalu tidak konsisten dan tidak tegas, yaitu :

1. dengan Sistem Pemilu Multi Partai di Parlemen/Legislatif adalah sebagai salah

satu ciri dari Sistem Parlementer.

2. Presiden & wakil Presiden dalam prakteknya adalah hasil koalisi, akan tetapi

dalam UU 23/2003, ttg Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung,

dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket, sehingga terjadi

pembagian Tugas dan Wewenang serta Tanggung Jawab terhadap Menteri-

Menteri. Dalam Kabinet Koalisi/Parlementer, Menteri2x di bawah tanggung

Jawab Perdana Menteri.

3. dalam Kabinet Indonesia Bersatu nampak jelas merupakan Kabinet

Koalisi/Parlementer dan bukan murni otoritas Presiden. Contoh kasus Resuffle

Yusril Ihsa Mahendra dalam Kabinet.

4. Atas Usul DPR, MPR dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden,

berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Adapun ciri-ciri Sistem Presidensiil yaitu :

1. Presiden & wakil Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen (DPR/Legislatif)

begitu pula sebaliknya,

2. Presiden & wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, Para

Menteri/Kabinetnya di bawah tanggung jawab Presiden (Perdana Menteri dlm

sistem Parlementer),

3. Sistem Pemilunya tidak dengan Multi Partai,

4. ada Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Negara dan Lembaga

Empechmen.

Partai2x besar di Parlemen tidak akan menyetujui tanpa syarat adanya Calon Independen yang bisa merugikan Partai, disamping secara konstitusional bertentangan dengan UUD 1945 dan PANCASILA. Dalam Sistem ketatanegaraan di manapun di dunia, keterwakilan politik itu selalu diperankan oleh Parpol walaupun dalam UUD 1945 tidak secara tegas menyebutkan bahwa sistem keterwakilan harus diperankan oleh partai. Apabila Calon Independen dibolehkan tanpa syarat, dampak politik yang terjadi Gubernur, Bupati/Walikota tersebut merasa tidak/ bukan representasi parpol di DPRD, sehingga posisinya sangat dominan dan sulit dikontrol karena merasa rakyatlah yang mencalonkan dan memilih.

Kalau sebelumnya Parpol yang mengusungnya masih bisa mengontrolnya, mana kala ada wakil parpol yang duduk di DPRD, walaupun kadang mengeksploitasi rakyat karena merasa dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan Calon Indipenden tidak didukung oleh kekuatan parpol di DPRD, sehingga rakyat yang dijadikan instrumen, apalagi merasa tidak bisa dijatuhkan oleh DPRD, maka bisa memicu konflik. Hal ini lebih berbahaya lagi jika dalam mengusulkan draff RUU kebijakan terjadi ketidak sepahaman/tidak ada kata mufakat, maka Pemerintahan akan berjalan tidak normal dan bahkan banyak kebijakan yang pada akhirnya tidak berpihak pada kepentingan publik. Tidak menutup kemungkinan Kepala Daerah terpilih dari Calon Independen tersebut akan bisa bertindak apa saja dengan mengatas namakan rakyat , sehingga meng-intervensi kewenangan2x Legislatif. Contoh Lahirnya UU tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang kontroversial jelas telah melampaui kewenangan Lembaga Yudikatif yang mengingatkan kita pada masa Demokrasi Terpimpin.

Belum lagi dikaitkan dengan Tujuan Otonomi sudah jelas yaitu seperti yang telah diamanatkan Pasal 2 ayat 3, adalah Meningkatkan Pelayanan Publik dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Daya Saing Daerah Begitu pula dengan Kewajiban dan Komitmen Daerah sesuai dengan Pasal 22 huruf a UU No 32 Tahun 2004, bahwa dalam menjalankan Otonomi, daerah memiliki kewajiban melindungi masyarakat, menjaga Persatuan, Kesatuan dan Kerukunan Nasional serta keutuhan NKRI, dengan memahami OTODA dan melaksanakannya, maka Tujuan Otonomi Daerah akan tercapai.

Dipertegas pula dengan UUD 1945 hasil Amandemen sebagai Landasan yang cukup kuat merumuskan prinsip Supra-konstitusionaliteit, yakni Pasal 37 ayat 5 UUD 1945, “Khusus tentang bentuk Negara, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dilakukan perubahan”.

Hal tersebut di atas didukung pula oleh UU No 28 tahun 1999, tentang KKN, sehingga perlu dipertanyakan apakah Penyelenggara Pemerintahan khususnya Pemerintahan Daerah, baik Kepala daerahnya ataupun DPRD-nya telah melaksanakan Amanat UU tersebut dan menurut Dr. Ir. SUDARSONO,H , Dirjen Kesbang dan Politik Depdagri, jika belum dilaksanakan, perlu dipertanyakan Kewajiban Komitmennya.

Apabila semua perihal di atas dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua daerah apalagi semua itu telah menjadi Amanat Luhur kemerdekaan, sehingga perlu bagaimana menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan RI. Jadi jelas bahwa diperlukan Kesadaran Politik segenap komponen Masyarakat guna membangun “budaya politik”, artinya membangun prilaku politik yang baik agar aspirasi dan partisipasi masyarakat bisa diserap dan disalurkan sesuai dengan saluran politiknya, sehingga kepentingan dan tujuannya bisa tercapai.

Sistem Demokrasi Konstitusional (UUD 1945 dan PANCASILA) akan menciptakan Tatanan Pemerintahan yang seimbang antara Eksekutif dan Legislatif bila pengejawantahannya dalam kebijakan lebih diarahkan pada upaya pembentukan “Koalisi Permanen” di ParlemenLegislatif, baik di DPR maupun DPRD, menjadi dua Kekuatan Besar Parpol,seperti di Perancis dengan sistem Parlementernya. Namun di Indonesia secara Konstitusional tetap berpegang dengan Sistem Presidensiil hasil Koalisi Permanen di Parlemen/Legislatif, walaupun dengan Sistem pemilu Multi partai.

Di Era Reformasi ini sudah dua kali Sistem Pemilu Multi partai dilaksanakan, baik pada tahun 1999 maupun tahun 2004 dimana Partai Golkar dan PDIP yang notabene-nya adalah Partai Nasionalis merupakan dua Partai Politik besar dan dominan di Indonesia, perlu dijadikan pertimbangan oleh partai2x politik yang lain untuk berkoalisi secara permanen di Parlemen/Legislatif (DPR & DPRD), yang secara teknisnya harus diatur oleh UU. Dengan ditentukan dua Parpol besar hasil Koalisi Permanen dalam Legislatif diharapkan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu didukung oleh kekuatan Parpol yang besar dan merupakan representasi masyarakat. Hal tersebut juga harus diikuti pula di daerah dalam PILGUB maupun PILKADA Bupati/Walikota, sehingga terjadi keseimbangan dalam Pemerintahan yang berdampak positif bagi jalannya Pembangunan Nasional dan percepatan Tujuan Otonomi Daerah. Semoga!!!

.



mirip tentang Hegemoni.

Dalam Konteks Politik modern, Negara (State) semakin lama semakin kuat dan besar, maka akan sulit dikontrol sehingga rakyat/masyarakat cenderung dieksploitasi semata

Konsepsi Kekuasaan seperti ini
mirip dengan Hegemoni.

Dalam Konteks Politik modern, Negara (State) semakin lama semakin kuat dan besar, maka akan sulit dikontrol sehingga rakyat/masyarakat cenderung dieksploitasi semata