ARTIKEL


Semut Tak Suci-suci Amat
Senin, 24 Maret 2008

Jakarta : Siapa yang tak kenal semut? Hewan yang satu ini sering kali dijadikan contoh positif untuk kebiasaannya bergotong royong dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.

Tapi riset yang dilakukan Bill Hughes dan kawan-kawannya dari University of Leeds, Inggris, menemukan bahwa demokrasi tumbuh tak subur-subur amat dalam dunia spesies hewan mungil ini. Seperti dalam dunia manusia, "Begitu dilihat lebih dalam, Anda akan bisa melihat ada konflik dan keculasan," kata Hughes.

Semula, Hughes dan para ahli lainnya menduga semut steril dari praktek-praktek seperti itu. "Tapi analisis genetik yang kami lakukan menunjukkan bahwa kondisi sosial mereka tak berbeda, diiris-iris oleh sejumlah korupsi keluarga kerajaan," katanya.

Dalam riset yang hasilnya dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, Hughes memang menerapkan teknik sidik jari DNA terhadap lima koloni semut pemotong daun. Ia menemukan beberapa semut pejantan menebar sperma di banyak koloni berbeda. Si semut diduga ingin menurunkan gen "darah biru"-nya secara selektif, bukan cuma di satu koloni yang sama.

Semut itu diduga ingin memastikan seluruh keturunannya bisa menjadi ratu di tiap-tiap koloni tersebut, sehingga asupan pangannya terjamin, tanpa kentara kaum semut pekerja. Jika terlalu banyak larva yang menjadi ratu dalam satu koloni, tentu saja akan mudah dilihat yang mungkin akan mudah memicu pemberontakan atau pembelotan.

Hughes menyatakan inti dari kehidupan sosial semestinya adalah egaliter. Tapi beberapa pejantan berlaku licik. "Ada pengaruh genetik dalam penentuan siapa menjadi ratu," katanya, sambil menambahkan, "Kesempatan sebuah larva menjadi ratu sangat bergantung pada siapa ayahnya."

Sumber : TEMPO Interaktif