ARTIKEL


Pemanasan Global
Senin, 30 Juli 2007
Pemanasan Global Ubah Siklus Hujan
TEMPO Interaktif, Ottawa:

Para petani di Indonesia kini ramai mengeluhkan siklus musim yang mulai berubah. Hujan yang diharap-harap turun, malah berganti dengan kemarau berkepanjangan, demikian sebaliknya.

Sebuah penelitian yang dirilis di jurnal Nature edisi senin lalu menyebutkan, fenomena itu tak hanya dirasakan petani di nusantara, melainkan juga dirasakan di belahan bumi lainnya.

Curah hujan dirasakan terlalu tinggi di Eropa bagian utara, Kanada, dan Rusia bagian utara. Sebaliknya, curah hujan sangat kurang di gurun Sahara di Afrika, India bagian selatan, dan Asia Tenggara.

Perubahan pola itu, menurut penelitian tersebut, disebabkan oleh pemanasan global. "Perubahan itu telah berdampak pada ekosistem, pertanian, dan kehidupan manusia," demikian artikel dalam jurnal itu.

Penelitian dilakukan oleh Francis Zwiers, seorang ahli lingkungan dari Kanada. Berbeda dengan ilmuwan yang meneliti pemanasan global dengan sekedar dugaan atau model komputer, Zwiers melakukan penelitiannya dengan mengamati dua set data pola curah hujan bumi pada kurun waktu 1925 sampai 1999.

Zwiers lantas membandingkan segepok data itu dengan 14 model komputer yang melakukan simulasi sistem iklim dan menemukan kecocokan. Selama 75 tahun, pemanasan global telah meningkatkan curah hujan di belahan bumi utara, yakni kawasan antara 40 sampai 70 derajat di utara.

Adapun di kawasan tropis dan subtropis belahan utara (mulai dari garis ekuator sampai 30 derajat lintang utara) permukaan bumi malah kian mengering. Sebaliknya di kawasan tropis di belahan selatan (mulai dari garis ekuator sampai 30 derajat di lintang selatan), permukaannya malah lebih basah.

Penelitian itu mengamati curah hujan tahunan di daratan, bukan lautan. Penelitian itu juga tak mempertimbangkan kondisi cuaca yang ekstrim-yang menyebabkan banjir dan kekeringan-yang frekuensinya juga meningkat akibat pemanasan global.
Sumber : Tempo Interaktif