ARTIKEL
Bahan Pangan Transgenik
Adakah Informasi soal Pangan Transgenik?
Tempe dan tahu bisa dibilang
makanan sehari-hari sebagian penduduk Indonesia. Kedua lauk ini hampir setiap
hari menghiasi meja makan. Namun, ketika mengonsumsi kedua makanan itu,
pernahkah Anda berpikir kedelai yang dipakai sebagai bahan baku berasal dari
tanaman transgenik?
Saat ini produk transgenik
yang sudah menyebar di pasar internasional adalah kedelai (60 persen), jagung
(23 persen), kapas (11 persen), dan kanola (6 persen). Artinya 60 persen
kedelai yang ada di pasar internasional adalah produk rekayasa genetika.
Di Indonesia kebutuhan
kedelai nasional 3 juta ton setahun. Dari jumlah itu, 70-80 persen konsumsi
kedelai dipasok oleh kedelai impor. Bisa jadi, kedelai yang dikonsumsi penduduk
Indonesia dalam bentuk tempe dan tahu merupakan hasil rekayasa genetika.
"Yang kami persoalkan
adalah konsumen harus mendapatkan haknya untuk mendapatkan informasi yang
benar. Informasi ini penting karena konsumen berhak mendapatkan keamanan
pangan, mendapat informasi tentang makanan yang dipilihnya. Mereka juga berhak
untuk memilih makanan," kata Ilyani S Andang dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI).
Sampai sekarang Pemerintah
Indonesia belum melakukan penelitian mendalam mengenai dampak tanaman
transgenik terhadap kesehatan manusia. Pemerintah memang sudah meratifikasi
Protokol Cartagena yang memuat prinsip kehati-hatian dalam menerapkan teknologi
rekayasa genetika
Pemerintah juga telah
membuat sebuah peraturan setingkat peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2005 mengenai Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Namun,
hingga kini penunjuk pelaksanaan di lapangan belum ada sehingga semua produk
transgenik impor masuk ke Indonesia praktis tanpa pengamanan.
Oleh karena penunjuk
lapangan belum ada, hak konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai makanan
yang dipilih melalui label juga belum terlaksana.
"Setidaknya
makanan-makanan yang dijual di ritel modern harus memakai label. Sementara
perajin tempe atau tahu cukup dibina agar mereka bisa memberikan informasi
kepada konsumen tentang bahan baku," kata Ilyani.
Kajian keamanan
pangan
Menurut Dwi Andreas
Santosa, pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas
Pertanian IPB, yang mendalami bidang rekayasa genetika, bahan pangan transgenik
yang akan dikomersialisasikan harus melalui kajian yang disebut food safety
assessment (kajian keamanan pangan). Ini untuk menguji apakah bahan
tersebut aman dikonsumsi oleh manusia atau tidak. Begitu juga jika bahan pangan
itu akan digunakan sebagai makanan ternak.
Di dunia internasional
dikenal istilah substantial equivalent. Artinya, bila bahan pangan
transgenik tersebut secara substansial sama dengan bahan pangan konvensional,
kandungan gizi, karbohidrat, lemak, vitamin, dan sebagainya, maka bahan
tersebut boleh dikatakan aman dikonsumsi.
Kajian keamanan pangan
juga mengharuskan produk gen yang disisipkan pada tanaman juga dikaji apakah
produk tersebut nantinya bisa menyebabkan alergi, keracunan, atau dampak
negatif lain. Apabila dari hasil kajian tersebut ternyata negatif, maka bahan
tersebut bisa dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
"Selama bahan pangan
tersebut telah melalui seluruh proses uji yang secara ilmiah dan secara
internasional diakui, maka tidak ada keraguan untuk mengonsumsinya," kata
Dwi.
Dia mengakui, banyak
ilmuwan dan LSM berpendapat bahwa substansial equivalent tidak dapat
digunakan sebagai kriteria untuk menyatakan apakah suatu pangan transgenik aman
dikonsumsi atau tidak.
Alasannya, antara bahan
pangan transgenik dan non- transgenik jelas berbeda. Selain itu, kajian
keamanan pangan yang dilakukan tidak mencukupi karena hanya dicobakan pada
binatang. Sementara efek dari penyisipan gen/DNA asing terhadap komposisi
senyawa-senyawa lain, di luar senyawa utama, tidak diteliti lebih lanjut.
Begitu juga dengan pola konsumsi yang berbeda-beda antarkomunitas.
"Di negara maju,
pangan transgenik biasanya diolah lanjut lebih dahulu sebelum dikonsumsi.
Konsumsinya juga dalam jumlah sedikit. Misalnya kentang yang dijadikan chips,"
ucapnya.
Sementara di negara
berkembang, pangan transgenik mengalami pengolahan yang pendek, misalnya tahu,
tempe, atau jagung sebagai makanan pokok.
"Sampai kini belum
diketahui risiko pangan yang diolah pendek tersebut apabila dikonsumsi dalam
jangka waktu lama," kata Dwi yang juga direktur eksekutif Indonesian
Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB).
Mengingat masih banyak
risiko yang mungkin muncul dari pangan transgenik, beberapa negara telah
menerapkan sejumlah peraturan untuk melindungi warganya. Misalnya di Uni Eropa
beberapa lembaga telah melakukan kajian keamanan terhadap pangan transgenik
yang akan di konsumsi di Eropa.
Jika varietas tersebut
lolos, boleh diedarkan di Eropa. Jika produk tersebut terkontaminasi bahan
kimia oleh produk yang belum diizinkan di Uni Eropa, maka seluruh pengapalan
akan ditolak.
"Selain itu,
penggunaan gen marker resisten antibiotik juga mulai dilarang di sana,
sehingga ke depan bahan pangan yang memiliki gen resisten antibiotik, misalnya,
tidak boleh beredar di UE," ungkap Dwi.
Di Indonesia, kemungkinan
untuk masuknya bahan pangan transgenik yang belum diizinkan pemerintah cukup
besar karena tidak ada segregasi (pemisahan) di negara eksportir.
Sumber: Kompas.com