ARTIKEL


Bahan Pangan Transgenik
Selasa, 19 September 2006

Adakah Informasi soal Pangan Transgenik?

Tempe dan tahu bisa dibilang makanan sehari-hari sebagian penduduk Indonesia. Kedua lauk ini hampir setiap hari menghiasi meja makan. Namun, ketika mengonsumsi kedua makanan itu, pernahkah Anda berpikir kedelai yang dipakai sebagai bahan baku berasal dari tanaman transgenik?

Saat ini produk transgenik yang sudah menyebar di pasar internasional adalah kedelai (60 persen), jagung (23 persen), kapas (11 persen), dan kanola (6 persen). Artinya 60 persen kedelai yang ada di pasar internasional adalah produk rekayasa genetika.

Di Indonesia kebutuhan kedelai nasional 3 juta ton setahun. Dari jumlah itu, 70-80 persen konsumsi kedelai dipasok oleh kedelai impor. Bisa jadi, kedelai yang dikonsumsi penduduk Indonesia dalam bentuk tempe dan tahu merupakan hasil rekayasa genetika.

"Yang kami persoalkan adalah konsumen harus mendapatkan haknya untuk mendapatkan informasi yang benar. Informasi ini penting karena konsumen berhak mendapatkan keamanan pangan, mendapat informasi tentang makanan yang dipilihnya. Mereka juga berhak untuk memilih makanan," kata Ilyani S Andang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Sampai sekarang Pemerintah Indonesia belum melakukan penelitian mendalam mengenai dampak tanaman transgenik terhadap kesehatan manusia. Pemerintah memang sudah meratifikasi Protokol Cartagena yang memuat prinsip kehati-hatian dalam menerapkan teknologi rekayasa genetika

Pemerintah juga telah membuat sebuah peraturan setingkat peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 mengenai Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Namun, hingga kini penunjuk pelaksanaan di lapangan belum ada sehingga semua produk transgenik impor masuk ke Indonesia praktis tanpa pengamanan.

Oleh karena penunjuk lapangan belum ada, hak konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai makanan yang dipilih melalui label juga belum terlaksana.

"Setidaknya makanan-makanan yang dijual di ritel modern harus memakai label. Sementara perajin tempe atau tahu cukup dibina agar mereka bisa memberikan informasi kepada konsumen tentang bahan baku," kata Ilyani.

Kajian keamanan pangan

Menurut Dwi Andreas Santosa, pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, yang mendalami bidang rekayasa genetika, bahan pangan transgenik yang akan dikomersialisasikan harus melalui kajian yang disebut food safety assessment (kajian keamanan pangan). Ini untuk menguji apakah bahan tersebut aman dikonsumsi oleh manusia atau tidak. Begitu juga jika bahan pangan itu akan digunakan sebagai makanan ternak.

Di dunia internasional dikenal istilah substantial equivalent. Artinya, bila bahan pangan transgenik tersebut secara substansial sama dengan bahan pangan konvensional, kandungan gizi, karbohidrat, lemak, vitamin, dan sebagainya, maka bahan tersebut boleh dikatakan aman dikonsumsi.

Kajian keamanan pangan juga mengharuskan produk gen yang disisipkan pada tanaman juga dikaji apakah produk tersebut nantinya bisa menyebabkan alergi, keracunan, atau dampak negatif lain. Apabila dari hasil kajian tersebut ternyata negatif, maka bahan tersebut bisa dinyatakan aman untuk dikonsumsi.

"Selama bahan pangan tersebut telah melalui seluruh proses uji yang secara ilmiah dan secara internasional diakui, maka tidak ada keraguan untuk mengonsumsinya," kata Dwi.

Dia mengakui, banyak ilmuwan dan LSM berpendapat bahwa substansial equivalent tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk menyatakan apakah suatu pangan transgenik aman dikonsumsi atau tidak.

Alasannya, antara bahan pangan transgenik dan non- transgenik jelas berbeda. Selain itu, kajian keamanan pangan yang dilakukan tidak mencukupi karena hanya dicobakan pada binatang. Sementara efek dari penyisipan gen/DNA asing terhadap komposisi senyawa-senyawa lain, di luar senyawa utama, tidak diteliti lebih lanjut. Begitu juga dengan pola konsumsi yang berbeda-beda antarkomunitas.

"Di negara maju, pangan transgenik biasanya diolah lanjut lebih dahulu sebelum dikonsumsi. Konsumsinya juga dalam jumlah sedikit. Misalnya kentang yang dijadikan chips," ucapnya.

Sementara di negara berkembang, pangan transgenik mengalami pengolahan yang pendek, misalnya tahu, tempe, atau jagung sebagai makanan pokok.

"Sampai kini belum diketahui risiko pangan yang diolah pendek tersebut apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama," kata Dwi yang juga direktur eksekutif Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB).

Mengingat masih banyak risiko yang mungkin muncul dari pangan transgenik, beberapa negara telah menerapkan sejumlah peraturan untuk melindungi warganya. Misalnya di Uni Eropa beberapa lembaga telah melakukan kajian keamanan terhadap pangan transgenik yang akan di konsumsi di Eropa.

Jika varietas tersebut lolos, boleh diedarkan di Eropa. Jika produk tersebut terkontaminasi bahan kimia oleh produk yang belum diizinkan di Uni Eropa, maka seluruh pengapalan akan ditolak.

"Selain itu, penggunaan gen marker resisten antibiotik juga mulai dilarang di sana, sehingga ke depan bahan pangan yang memiliki gen resisten antibiotik, misalnya, tidak boleh beredar di UE," ungkap Dwi.

Di Indonesia, kemungkinan untuk masuknya bahan pangan transgenik yang belum diizinkan pemerintah cukup besar karena tidak ada segregasi (pemisahan) di negara eksportir.


Sumber: Kompas.com